KPK
( komisi Pemberantas Korupsi ) merupakan instansi yang penting bagi Indonesia,
terlebih negara kita sangat banyak kasus korupsi mulai dari masyarakat kalangan
menengah sampai yang berpangkat tinggi pun bisa terjerat kasus korupsi. Terlebih
lagi sekarang semakin meruncingnya
perseteruan antara Kepolisian Negara RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi
menyusul kasus hukum dugaan korupsi simulator mengemudi di Korps Lalu Lintas
Polri membuat masyarakat mengharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun
tangan. Perseteruan tersebut memuncak, Jumat, 5 Oktober 2012, sewaktu sejumlah
perwira polisi mendatangi KPK untuk menangkap Komisaris Novel Baswedan,
penyidik utama kasus dugaan korupsi simulator mengemudi di Korlantas Polri. Upaya
penjemputan paksa itu dianggap merupakan tindak lanjut dari keputusan Polri
untuk menarik 20 penyidik polisi di KPK, yang dinilai sebagai upaya Polri
melemahkan KPK. Upaya itu ditolak oleh KPK dengan alasan kehadiran para
penyidik polisi masih diperlukan. Sebelumnya, DPR juga dianggap ingin
melemahkan KPK dengan upaya Komisi III DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Upaya
merevisi UU tersebut dikhawatirkan bakal memereteli kewenangan KPK. Kedatangan
sejumlah perwira polisi ke KPK itu langsung direspons oleh masyarakat dan tokoh
masyarakat yang berbondong-bondong mendatangi gedung KPK untuk menunjukkan
dukungan mereka. Mereka membentuk pagar betis. Polri berargumen bahwa upaya
menangkap Novel Baswedan itu tidak ada hubungannya dengan kasus dugaan korupsi
di Korlantas Polri, tetapi terkait dengan kejahatan yang dilakukannya pada masa
lalu. Namun, masyarakat tidak percaya dengan argumen tersebut. Perseteruan
antara Polri dan KPK semakin panas setelah aksi yang dilakukan Polri pada Jumat
malam. Masyarakat mendesak Presiden Yudhoyono segera turun tangan. Desakan
kepada Presiden itu disuarakan lewat berbagai platform, mulai dari
media online, televisi, radio, surat kabar, dan terutama media sosial,
seperti Twitter dan Facebook. Namun, seperti biasa, Presiden memerlukan waktu
untuk mengambil sikap. Diinformasikan, Presiden akan mengadakan jumpa pers,
Senin, 8 Oktober 2012. Setelah Presiden menyampaikan pidato tentang Polri vs
KPK, presiden mendukung KPK segera menyelesaikan perkara yang sedang dijalankan
KPK. Meski KPK dan Polri telah berdamai, namun posisi Polri
terlanjur buruk di mata masyarakat. “Terlanjur nama Polri jatuh dan terekam oleh dunia
kalau ada perseteruan polisi dan KPK,” terang Pengamat Hukum Pidana dari Unirversitas
Trisakti, Yenti Garnasih, kepada LICOM, Jumat (09/10). Menurut Yenti, KPK dan Polri sudah telanjur berseteru
dan rebutan kasus, terlanjur pemanggilan Irjen Djoko Susilo tertunda dan proses
penyidikannya terhambat, terlanjur Polri mengepung KPK. Itu yang membuat citra
Polri makin buruk. KPK harus langsung
reaktif setelah mendapatkan dukungan penuh dari Kepala Negara dan sekaligus
sebagai Kepala Pemerintahan, yakni presiden. Yenti mendesak agar KPK menggunakan UU yang ada untuk mengungkap
kasus-kasus yang sudah mulai tenggelam, seperti, kasus korupsi Century,
Hambalang dan Kasus Simulator SIM di Korlantas Polri. “KPK harus segera bekerja fokus pada penyelesaian
kasus-kasus seperti SIM, Hambalang dan Century, jangan lagi lamban,” tegas
Yenti. Ia berharap KPK jangan mengalihkan
perhatian pada kasus Kompol Novel Baswedan saja. “Yang diinginkan publik adalah basmi itu korupsi, seret pelakunya ke
penjara dan rampas hasil korupsinya dengan menggunakan TPPU,” pungkasnya. Dan
harapan kami para masyarakat yang sangat geram dengan korupsi yang terus
berkembang di Indonesia adalah KPK dan
Polri sebaiknya saling mendukung dan membantu satu sama lain agar kasus-kasus
korupsi bisa terleselaikan dan penyelesaiannya terlihat jelas oleh masyarakat.
Sumber
:
kompas.com
detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar